Selasa, 28 Januari 2014

Back for Good - Singapore Bandung

Setelah menyelesaikan kuliah saya di Singapore saya memutuskan untuk pulang ke Bandung instead of Jogja karena suami yang memang bekerja di Bandung.

Saya menggunakan maskapai Tiger Air dengan bagasi 30 kg. Pertimbangan saya: maskapai ini langsung mencapai Bandung tanpa transit. Walau biasanya menggunakan Air Asia, namun karena harga tiket di maskapai ini sudah agak melambung sedikit kala itu (menjelang Chinese New Year 2014) jadi saya lebih memilih Tiger Air. 


Oleh-oleh dan belanjaan yang saya perkirakan tidak akan terlalu banyak (karena Desember 2013 saya sudah mencicil membawa pulang baran-barang saya); ternyata saya salah. Nafsu belanja baju (terutama beberapa brand yg saya lihat tidak ada di Bandung dan musim diskon Chinese New Year serta bahan yang bagus) membutakan saya haha. Jadilah ada excess baggage dan naasnya ketika saya menanyakan pada teman saya yang menjual tiket, dia mengatakan sudah tidak bisa upgrade baggage lagi. 

Saya berakhir di salah satu sudut Changi Airport membuang 2 mukena, beberapa baju, celana, jilbab, lecture notes dan sebelumya di kosan saya buang 2 sepatu (ternyata masih kurang :(


Di Changi sendiri dengan membawa barang yang banyak tidak masalah karena tersedia troli di mana-mana. Yang jadi masalah adalah ketika saya mendarat di Bandara Husein Sastra di Bandung. Ketika bagasi saya berjalan di conveyor belt, belum ada troli di sana yang bisa digunakan. Padahal ada barang barang yg saya letakan di dalam kardus dan total bagasi saya ada 3 buah, hingga saya merasa kesulita membawanya ke arah pemeriksaan bea cukai dan akhirnya harus meminta tolong (bayar 10 ribu untuk seorang bapak membawa dr conveyor belt ke arah bea cukai -yg jaraknya kira-kira hanya 5-10 meter saja haha). Keputusan ini saya buat karena saya sendiri membawa tas ransel+tas jinjing isi oleh2 juga. 


Setelah keluar dari bandara, saya pun harus mencari-cari troli, setelah dapat akhirnya saya bisa berjalan ke seberang ke arah Solaria (dengan penuh perhitungan mengingat pengendara mobil/sepeda motor yg meskipun kita telah lewat zebra cross masih saja enggan berhenti untuk sekedar memberi jalan).


Selesai makan saya memesan 1 taksi dan di sini TIDAK ada sama sekali taksi argo. Harga taksi ditentukan dengan tarif sesuai jarak. Ini lebih menguntungkan daripada menggunakan argo jika diperhitungkan dengan probabilitas macet di Bandung yg semua-orang-juga-tahu. Namun , sebenarnya  ada peraturan hukum tentang penggunaan argo ini lho karena dia termasuk alat ukur untuk transaksi :)

Hal seperti ini bukan sekali, sebelumnya juga pulang ke Bandung mengalami hal yang sama. 
Yang lebih naas, tisu toilet di toilet dalam bandara sering tidak tersedia. Interval pulang 3 bulan, saya dapati tisu toilet yg selalu tidak ada di tempatnya.

Ah, kapan ya...bandara-bandara kita bisa lebih tertata rapi tanpa praktek 'aneh-aneh'.
Tidak usah lah seperti Changi (yg memang No.1 di dunia hingga saat ini), setidaknya kebutuhan dasar ketika orang turun pesawat -seperti : toilet, bisa lebih luas dan bersih dan jumlahnya diperbanyaklah (terutama untuk kota tujuan wisata seperti Bandung ini) dan air minum (tap water) 
Counter imigrasi juga sedikit dibanding jumlah penumpang yang turun, hingga menimbulkan antrian panjang mengular dan menghabiskan waktu (ini terutama tidak disukai turis asing).

Papan informasi/penunjuk yang jelas agar orang yang belum pernah ke bandara tersebut tahu harus ke mana juga masih minim. 

Semoga kelak bandara kita makin tertata..











Tidak ada komentar:

Posting Komentar